AMBON - Langkah tim penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dinilai mulai bergerak tidak teratur dan tidak konsisten dalam mengusut dugaan skandal korupsi penataan kawasan tambang emas Gunung Botak, Kabupaten Buru.
Kucuran dana milyaran rupiah dari PT Buana Pratama Sejahtera (BPS) ke rekening Kadis ESDM Maluku, Martha M Nanlohy yang sejak awal menjadi bidikan, kini sudah berubah arah. Panggil sana, panggil sini, tak jelas tujuannya.
Agenda pemeriksaan Martha tak pernah lagi jalan. Bahkan Direktur Utama PT BPS Mintaria Loesiahari yang sudah tiga kali mangkir, Kejati Maluku hanya berdiam diri. Tak ada langkah tegas yang diambil.
Belum tuntas memeriksa Martha dan PT BPS, tim penyelidik bergerak ke sana ke mari. Dinas PU Maluku yang mengikuti prosedur untuk penataan kawasan Gunung Botak dengan menggelar lelang justru kini menjadi sasaran bidikan. Ada apa dengan Kejati Maluku?.
“Mana ada jaksa bertindak tegas terhadap Bos PT BPS. Kadis ESDM juga tak lagi disentuh. Jadi Kejati Maluku tak lagi konsisten untuk mengusut kasus ini,” ujar sumber Siwalima, Senin (29/8).
Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette yang dikonfirmasi mengatakan, kasus penataan Gunung Botak masih dalam penyelidikan, sehingga jaksa masih mengumpulkan keterangan dari berbagai pihak.
“Ini kan kasusnya masih lidik. Masih butuh keterangan sejumlah pihak. Pemanggilan untuk permintaan keterangan masih dilakukan. Hanya saja saat ini jaksa tengah fokus untuk perkara yang sudah tahap penyidikan dan hampir selesai masa penahanannya bukan berarti kasus ini tak diproses,” kata Sapulette.
Pemeriksaan terhadap Kadis ESDM Maluku, Martha M Nanlohy yang telah diagendakan, tak pernah berjalan. Pemeriksaan Martha adalah pemeriksaan kedua. Ia memiliki peran ganda. Selain Kadis ESDM Maluku, ia juga menjabat Penanggung jawab Administrasi dan Keuangan yang mengelola duit PT BPS.
Hal itu terlihat jelas dalam Surat Perintah Kerja (SPK) yang diterbitkan Martha kepada PT BPS. SPK Nomor 540/415.1.SPK.XI.ESDM 2015 tanggal 10 November 2015 yang telah beredar luas di masyarakat itu, ditandatangani oleh Martha di atas materai 6000 untuk dan atas nama Dinas ESDM Maluku sebagai Penanggung jawab Administrasi dan Keuangan.
Sebelah kanan tertera tanda tangan Mintaria Loesiahari selaku Direktur Utama PT BPS.
Dalam SPK itu juga disebutkan, pekerjaan yang dilakukan PT BPS adalah penataan lokasi penambangan tanpa izin di Gunung Botak dan Gogorea. Waktu pelaksanaan pekerjaan enam bulan, sumber dananya dibebankan kepada PT BPS, dengan nilai pekerjaan Rp 5.140.300.000,-.
Anggaran Rp 5.140.300. 000,- itu, untuk membiayai pekerjaan: Satu, pra sosialisasi dan pengamatan (rapat-rapat) senilai Rp 108.200.000. Dua, sosialisasi lingkungan dan sosialisasi pertambangan Rp 490.700.000.Tiga, penyisiran/pengosongan dan penempatan pos penjagaan Rp 4.386.900.000. Empat, honor tim terpadu Rp 154.500. 000.
Selanjutnya, pasal 3 butir 3 SKP tersebut yang mengatur tentang pembayaran disebutkan, jumlah angsuran dibayarkan langsung kepada PIHAK PERTAMA dengan nomor rekening 152-00-1470392-6 atas nama Ir. Martha Magdalena Nanlohy-Plantina Talle.
Dalam kapasitas sebagai Penanggung jawab Administrasi dan Keuangan, Martha juga yang mengurusi penyewaan excavator untuk menunjang operasional BPS di Gunung Botak dan Gogorea.
Selain Rp 5.140.300.000,- itu, ada juga aliran dana miliaran rupiah yang dikucurkan oleh PT BPS ke rekening Martha.
Martha sendiri mengaku, menerima kucuran dana setiap bulan Rp 2,3 miliar dari PT BPS. Ia sudah mea bulan November, dan berikutnya bulan Desember 2015. Jadi total uang PT BPS yang sudah masuk ke rekeningnya Rp 4,6 miliar.
PT BPS akan menyetor tiap bulannya ke rekening Martha Rp 2,3 miliar hingga bulan April 2016. Sehingga total uang yang bakal masuk ke rekeningnya selama enam bulan sebesar Rp 13,8 miliar.
“Selama enam bulan sejak November sampai April 2016 PT BPS memberikan 2,3 miliar per bulan hanya untuk biaya pengamanan saja,” kata Martha kepada wartawan usai rapat tertutup dengan Pemkab Buru dan masyarakat adat Buru di kantor gubernur, Senin 11 Januari 2016 lalu.
Sejumlah dokumen disita dari tangan Martha. Dokumen yang terkait dengan kerjasama PT BPS dengan Martha itu, diambil saat dia diperiksa jaksa I Putu Agus, Senin (27/6) lalu.
Dana miliaran yang dikucurkan PT BPS itu, diduga sebagai kompensasi dari MoU terselubung antara Kadis ESDM dan PT BPS untuk menggarap emas di Gunung Botak, berkedok pembersihan limbah merkuri dan sianida.
Kalangan akademisi hukum dan DPRD menilai, Kadis ESDM telah melanggar Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah. Pasal 19 ayat (1) menegaskan, penerimaan hibah oleh Pemerintah Daerah dianggarkan dalam Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebagai jenis pendapatan hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bunyi aturan ini jelas, dana hibah harus tercatat dalam pos APBD, bukan parkir di rekening Martha. Tetapi Martha selalu mengklaim, apa yang dilakukannya sudah sesuai prosedur, dan tidak ada yang melanggar hukum.
Kepala Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Maluku saat itu, Zulkifi Anwar, memastikan, Martha Nanlohy telah menyalahi aturan dengan memasukan dana hibah ke rekening pribadi. Hal ini ditegaskan Zulkifi saat dihadirkan dalam rapat dengan Komisi B DPRD Maluku, Selasa (8/3) lalu.
“Harusnya dana yang masuk dari pihak ketiga, masuk sebagai pendapatan di APBD dan keluar sebagai belanja program, dan itu baru sesuai dengan aturan,” kata Zulkifi saat ditanya Komisi B menyangkut mekanisme penyaluran dana pihak ketiga ke Pemprov Maluku.
Zulkifi menjelaskan, peraturan mengenai pengelolaan keuangan daerah bersifat onimbus regulation (menyeluruh) dan tidak ada SKPD yang mendapat perlakukan khusus.
“Saya mengambil contoh dari PP 58 tentang pengelolaan keuangan daerah pada pasal 17 ayat 1 disebutkan bahwa yang menyangkut semua penerimaan atau pendapatan daerah dan yang menyangkut pengeluaran atau belanja daerah dalam bentuk uang atau barang atau jasa harus dianggarkan dalam APBD,” jelasnya
Kejati Maluku harusnya konsisten untuk mengusut dugaan keterlibatan Kadis ESDM Maluku, bukan bergerak liar dengan tujuan tertentu. (siwalima.com/kompas.com)
Kucuran dana milyaran rupiah dari PT Buana Pratama Sejahtera (BPS) ke rekening Kadis ESDM Maluku, Martha M Nanlohy yang sejak awal menjadi bidikan, kini sudah berubah arah. Panggil sana, panggil sini, tak jelas tujuannya.
Agenda pemeriksaan Martha tak pernah lagi jalan. Bahkan Direktur Utama PT BPS Mintaria Loesiahari yang sudah tiga kali mangkir, Kejati Maluku hanya berdiam diri. Tak ada langkah tegas yang diambil.
Belum tuntas memeriksa Martha dan PT BPS, tim penyelidik bergerak ke sana ke mari. Dinas PU Maluku yang mengikuti prosedur untuk penataan kawasan Gunung Botak dengan menggelar lelang justru kini menjadi sasaran bidikan. Ada apa dengan Kejati Maluku?.
“Mana ada jaksa bertindak tegas terhadap Bos PT BPS. Kadis ESDM juga tak lagi disentuh. Jadi Kejati Maluku tak lagi konsisten untuk mengusut kasus ini,” ujar sumber Siwalima, Senin (29/8).
Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette yang dikonfirmasi mengatakan, kasus penataan Gunung Botak masih dalam penyelidikan, sehingga jaksa masih mengumpulkan keterangan dari berbagai pihak.
“Ini kan kasusnya masih lidik. Masih butuh keterangan sejumlah pihak. Pemanggilan untuk permintaan keterangan masih dilakukan. Hanya saja saat ini jaksa tengah fokus untuk perkara yang sudah tahap penyidikan dan hampir selesai masa penahanannya bukan berarti kasus ini tak diproses,” kata Sapulette.
Pemeriksaan terhadap Kadis ESDM Maluku, Martha M Nanlohy yang telah diagendakan, tak pernah berjalan. Pemeriksaan Martha adalah pemeriksaan kedua. Ia memiliki peran ganda. Selain Kadis ESDM Maluku, ia juga menjabat Penanggung jawab Administrasi dan Keuangan yang mengelola duit PT BPS.
Hal itu terlihat jelas dalam Surat Perintah Kerja (SPK) yang diterbitkan Martha kepada PT BPS. SPK Nomor 540/415.1.SPK.XI.ESDM 2015 tanggal 10 November 2015 yang telah beredar luas di masyarakat itu, ditandatangani oleh Martha di atas materai 6000 untuk dan atas nama Dinas ESDM Maluku sebagai Penanggung jawab Administrasi dan Keuangan.
Sebelah kanan tertera tanda tangan Mintaria Loesiahari selaku Direktur Utama PT BPS.
Dalam SPK itu juga disebutkan, pekerjaan yang dilakukan PT BPS adalah penataan lokasi penambangan tanpa izin di Gunung Botak dan Gogorea. Waktu pelaksanaan pekerjaan enam bulan, sumber dananya dibebankan kepada PT BPS, dengan nilai pekerjaan Rp 5.140.300.000,-.
Anggaran Rp 5.140.300. 000,- itu, untuk membiayai pekerjaan: Satu, pra sosialisasi dan pengamatan (rapat-rapat) senilai Rp 108.200.000. Dua, sosialisasi lingkungan dan sosialisasi pertambangan Rp 490.700.000.Tiga, penyisiran/pengosongan dan penempatan pos penjagaan Rp 4.386.900.000. Empat, honor tim terpadu Rp 154.500. 000.
Selanjutnya, pasal 3 butir 3 SKP tersebut yang mengatur tentang pembayaran disebutkan, jumlah angsuran dibayarkan langsung kepada PIHAK PERTAMA dengan nomor rekening 152-00-1470392-6 atas nama Ir. Martha Magdalena Nanlohy-Plantina Talle.
Dalam kapasitas sebagai Penanggung jawab Administrasi dan Keuangan, Martha juga yang mengurusi penyewaan excavator untuk menunjang operasional BPS di Gunung Botak dan Gogorea.
Selain Rp 5.140.300.000,- itu, ada juga aliran dana miliaran rupiah yang dikucurkan oleh PT BPS ke rekening Martha.
Martha sendiri mengaku, menerima kucuran dana setiap bulan Rp 2,3 miliar dari PT BPS. Ia sudah mea bulan November, dan berikutnya bulan Desember 2015. Jadi total uang PT BPS yang sudah masuk ke rekeningnya Rp 4,6 miliar.
PT BPS akan menyetor tiap bulannya ke rekening Martha Rp 2,3 miliar hingga bulan April 2016. Sehingga total uang yang bakal masuk ke rekeningnya selama enam bulan sebesar Rp 13,8 miliar.
“Selama enam bulan sejak November sampai April 2016 PT BPS memberikan 2,3 miliar per bulan hanya untuk biaya pengamanan saja,” kata Martha kepada wartawan usai rapat tertutup dengan Pemkab Buru dan masyarakat adat Buru di kantor gubernur, Senin 11 Januari 2016 lalu.
Sejumlah dokumen disita dari tangan Martha. Dokumen yang terkait dengan kerjasama PT BPS dengan Martha itu, diambil saat dia diperiksa jaksa I Putu Agus, Senin (27/6) lalu.
Dana miliaran yang dikucurkan PT BPS itu, diduga sebagai kompensasi dari MoU terselubung antara Kadis ESDM dan PT BPS untuk menggarap emas di Gunung Botak, berkedok pembersihan limbah merkuri dan sianida.
Kalangan akademisi hukum dan DPRD menilai, Kadis ESDM telah melanggar Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah. Pasal 19 ayat (1) menegaskan, penerimaan hibah oleh Pemerintah Daerah dianggarkan dalam Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebagai jenis pendapatan hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bunyi aturan ini jelas, dana hibah harus tercatat dalam pos APBD, bukan parkir di rekening Martha. Tetapi Martha selalu mengklaim, apa yang dilakukannya sudah sesuai prosedur, dan tidak ada yang melanggar hukum.
Kepala Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Maluku saat itu, Zulkifi Anwar, memastikan, Martha Nanlohy telah menyalahi aturan dengan memasukan dana hibah ke rekening pribadi. Hal ini ditegaskan Zulkifi saat dihadirkan dalam rapat dengan Komisi B DPRD Maluku, Selasa (8/3) lalu.
“Harusnya dana yang masuk dari pihak ketiga, masuk sebagai pendapatan di APBD dan keluar sebagai belanja program, dan itu baru sesuai dengan aturan,” kata Zulkifi saat ditanya Komisi B menyangkut mekanisme penyaluran dana pihak ketiga ke Pemprov Maluku.
Zulkifi menjelaskan, peraturan mengenai pengelolaan keuangan daerah bersifat onimbus regulation (menyeluruh) dan tidak ada SKPD yang mendapat perlakukan khusus.
“Saya mengambil contoh dari PP 58 tentang pengelolaan keuangan daerah pada pasal 17 ayat 1 disebutkan bahwa yang menyangkut semua penerimaan atau pendapatan daerah dan yang menyangkut pengeluaran atau belanja daerah dalam bentuk uang atau barang atau jasa harus dianggarkan dalam APBD,” jelasnya
Kejati Maluku harusnya konsisten untuk mengusut dugaan keterlibatan Kadis ESDM Maluku, bukan bergerak liar dengan tujuan tertentu. (siwalima.com/kompas.com)