Wednesday, 24 May 2017

11:52:00
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pela Gandong Werinama – Kilang, Menembus Batas Agama.
Pela Gandong Werinama – Kilang, Menembus Batas Agama
BULA, KALWEDO - Sore itu, jalan lintas Werinama – Bemo di Kecamatan Werinama Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku terlihat sedikit sepi dari  biasanya. Di depan rumah papan yang beratap rumbia, Rudy de Fretes (40), anak Negeri Kilang, asyik bercerita sambil menyeruput secangkir kopi bersama pemilik rumah. Sekilas, mereka tampak seperti kakak beradik.

“Ela datang ke Werinama kapan?,” lantang Rudy de Fretes melihat reporter RRI asal Werinama yang datang mendekat. Mereka pun larut dalam pembicaraan hingga Adzan Maghrib menghampiri. Ela adalah sebutan khas masyarakat Maluku kepada seseorang  yang memiliki hubungan pela gandong seperti masyarakat Werinama dan Kilang.

Rudy de Fretes adalah anak Negeri Kilang di Pulau Ambon yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Kecamatan Werinama. Selain de Fretes, ada dua anak Negeri Kilang lain yang juga berstatus PNS, memilih mengabdi di jazirah el Nama, sebutan lain Werinama.

Bagi Rudy de Fretes dan kawan-kawan dari Kilang  yang datang  ke Kabupaten Seram Bagian Timur untuk mengubah nasib, hidup dan bekerja di Kecamatan Werinama, seperti berada di kampung halaman sendiri. Meski mereka berlainan agama atau non Muslim, tidak terlihat sedikitpun adanya rasa kekuatiran untuk tinggal di Werinama yang berpenduduk Muslim.

“Katong (kami) tinggal di Werinama ni sama saja seperti tinggal di Kilang, katong hidup baku sayang, tidak ada hal-hal yang mengecewakan. Katong diterima dengan suka cita. Jadi kalau ada kegiatan bersih-bersih masjid, tanpa diminta katong datang sendiri untuk bantu. Kalau datang bulan Ramadhan, biasanya sudara-sudara Werinama bergantian datang membawa makanan berbuka puasa meskipun dorang (mereka) tahu katong tidak berpuasa,” ujar de Fretes terharu.

Kain pela gandong yang membungkus negeri-negeri berbeda agama di Maluku memiliki nilai sakral yang tak bisa terbantahkan.  Hal itu teruji dari sikap hidup masyarakat pela gandong yang saling menukar informasi atau saling mengingatkan saat konflik bernuansa SARA melanda Maluku. s 

“Satu catatan sejarah penting yang ingin beta (saya) sampaikan untuk diketahui bahwa salah satu faktor yang ikut mempercepat penyelesaian konflik di Maluku adalah kehadiran saudara-saudara pela dari Werinama di Kilang pada tanggal 21 Mei 2002, waktu itu kan konflik masih memanas dan semua masih hidup tersekat-sekat,” ungkap de Fretes.

Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur pertama dan kedua, Abdullah Vanath, adalah putera Werinama. Tokoh pemekaran yang juga peletak dasar-dasar pembangunan di Kabupaten Seram Bagian Timur ini, memandang budaya hidup pela gandong sebagai jembatan emas menuju peradaban hidup masyarakat Maluku yang maju, religius, pluralis dan humanis.

Hal itu ia buktikan dengan kesungguhannya memanfaatkan hubungan pela batu karang Werinama – Kilang sebagai tali pengikat persaudaraan yang hakiki menembus sekat agama. Wujud dari kesungguhannya diimpelemtasikan melalui niatnya  membuat mimbar  untuk Gereja Kilang.

“Ela Dula Vanath ingin sekali mengganti mimbar  Gereja Kilang dengan mimbar yang dibuat oleh masyarakat Werinama.  Tapi dari hasil pertemuan bersama antara kedua belah pihak,  pihak dari Kilang keberatan karena mimbar yang ada dalam gereja itu merupakan karya dan peninggalan orang tua-tua,  akhirnx Ela Dula menggantikan janjinya itu  dengan diuangkan untuk Gereja,” ungkap de Fretes.

Solidaritas hidup antara masyarakat Werinama dan Kilang  terukur dalam pemilihan Gubernur Maluku tahun 2013. Kala itu, putera terbaik Werinama Abdullah Vanath ikut mencalonkan diri sebagai Gubernur Maluku.  Berbekal rekomendasi partai-partai non seat atau partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Maluku, Abdullah Vanath dan pasangan wakilnya Marthen Maspaitella, membungkam  partai-partai besar dan melaju ke putaran kedua.  Seluruh masyarakat Kilang tanpa terkecuali mendukung dan memilih putera Werinama sebagai calon Gubernur Maluku.

“Saya Fadli Elbetan, anak Negeri Werinama, saya bangga dengan saudara-saudara saya dari Kilang. Selama ini, kami saling kunjung-mengunjungi, tolong-menolong  dan berbagi kasih.  Anak-anak Kilang yang tinggal di Werinama diperlakukan seperti anak kampung sendiri, begitu juga kalau kami datang ke Kilang. Kami berharap, hubungan pela batu karang ini tetap abadi selamanya,” ujar Fadly Elbetan, anakn Negeri Werinama.

Budaya hidup orang basudara antara masyarakat Werinama dan Kilang memang memiliki makna yang mendalam.   Hal itu dirasakan mantan Kepala RRI Bula Yanni Latuheru.  Dua tahun mengemban tugas di Kota Bula ibukota Kabupaten Seram Bagian Timur, Latuheru yang kini bertugas di RRI Jogjakarta, tak pernah merasa risau selama berada di Bula karena dikelilingi orang-orang Werinama yang  menghormati dan menyayanginya sepenuh hati.

“Beta Gerry Loukoun, anak Negeri Kilang, beta mau bilang bahwa hidup orang basudara antara Kilang dan Werinama pung manis e, seng ada lawang (manisnya tidak tertandingi). Selama ini katong selalu hidup bae-bae dan saling membantu dalam suka maupun duka. Beta berharap hubungan persaudaraan ini  tetap terpelihara sepanjang massa,” ujar Gerry Loukoun, anak Negeri Kilang, yang kini merantau ke Kota Manokwari, Papua Barat.

Sejarah terbentuknya pela batu karang antara Werinama dan Kilang  memang belum banyak yang tahu karena tidak terdokumentasi.  Meski terdapat beberapa versi, namun versi yang diaminkan banyak orang, bermula dari terdamparnya kora-kora atau perahu tradisional milik leluhur Kilang di pantai Werinama. Kala itu, Pulau Seram dilanda kekacauan besar akibat perang suku.

Leluhur Kilang yang terdampar bersama kora-kora di pantai Werinama langsung ditawan dan diantar ke hadapan Raja Werinama untuk disidang. Dalam persidangan yang dihadiri mata-mata rumah atau marga-marga, terjadi perselisihan pendapat karena beberapa mata rumah menginginkan agar mereka dibunuh.

Setelah melalui perdebatan dan perselisihan, Raja Werinama akhirnya mengeluarkan tittah atau perintah  untuk membebaskan dan memulangkan mereka ke kampung halamannya di Pulau Ambon. Tittah raja tersebut langsung dilaksanakan dan  sejak saat itu, dua negeri yang berlainan agama tersebut  terikat dalam sumpah pela batu karang yang sakral.

Pela gandong pada dasarnya merupakan perjanjian persaudaraan yang  mengikat satu negeri dengan negeri lain, baik yang sedaratan atau berlainan pulau, maupun yang berlainan etnis dan agama. Pela dapat diartikan sebagai perjanjian persaudaraan, sedangkan gandong berarti saudara satu darah.

Pela gandong memiliki arti yang  sangat sakral bagi masyarakat Maluku. Kesakralan pela gandong terpatri  dalam sumpah adat yang diikuti dengan pencelupan beragam senjata dan alat-alat tajam ke dalam campuran tuak dan darah untuk  diminum sebagai tanda ikatan satu darah.  Sampai saat,  hubungan pela gandong antar negeri-negeri di Maluku tetap terpelihara, meski tanah raja-raja sempat didera konflik bernuansa SARA pada tahun 1999.

Hampir semua negeri Muslim dan Kristen di Pulau Ambon, Lease, Seram dan pulau-pulau kecil di sekitarnya memiliki hubungan pela gandong yang tercipta sejak zaman leluhur.  Karakter masyarakat Maluku yang keras dan pemberani,  menyebabkan api konflik antar negeri gampang tersulut.  Untuk mempertahankan hegemoni atau martabat negeri agar tidak jatuh di mata negeri lain, masing-masing negeri membentuk ‘koalisi satu darah’ yang dibungkus kain pela gandong.

Hubungan antara negeri-negeri yang terikat pela gandong memiliki keterikatan yang kuat karena masing-masing negeri memiliki kewajiban yang harus dipenuhi  seperti saling membantu pada saat genting,  bahu membahu membangun rumah ibadah, baileo (rumah adat) dan fasilitas umum lain. Mereka yang terikat pela gandong, umumnya dilarang melakukan perkawinan dan hal-hal lain yang dianggap tidak etis.

Saat konflik mendera tanah raja-raja pada tahun 1999, hubungan pela gandong antar negeri Muslim dan Kristen mengalami tekanan. Namun yang menarik, tukar menukar informasi antar negeri-negeri pela gandong selalu dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban. Yang lebih mencengangkan lagi, saat pembangunan rumah ibadah, mereka masih datang membantu meski secara sembunyi-sembunyi.

Hal itu terbaca dari pembangunan Masjid Annikmah di Negeri Tengah-Tengah Kecamatan Salahutu Pulau Ambon pada tahun 2001, saat konflik masih memanas. Kala itu, masyarakat Negeri Hatusua di Kecamatan Kairatu Seram Bagian Barat dan masyarakat Abubu di Nusalaut yang memiliki ikatan pela gandong dengan Tengah-Tengah, datang membantu pengecoran lantai masjid. Mereka datang secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan speedboat.  Kedatangan mereka langsung disambut isak tangis masyarakat.

Hubungan pela gandong yang kental juga terlihat di Negeri Seith Kecamatan Leihitu , Pulau Ambon. Sepanas apa pun bara konflik  yang terjadi di tanah raja-raja, masyarakat Ouw di Pulau Saparua yang memiliki hubungan gandong dengan Seith, datang berkunjung dan menetap tanpa merasa takut dan kuatir sedikitpun.  Pela gandong bagi masyarakat Maluku adalah janji suci yang tak bisa diterjemahkan dan menembus batas agama. (rri)