Sunday, 15 May 2016

20:36:00
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Belum Bongkar Bangunan, Edy Toto Purba dan Aminudin Dilaporkan.
AMBON - Ketua Pengadilan Negeri Tual, Edy Toto Purba dan mantan ketua PN setempat Aminuddin dilaporkan Djafrudin Hamu ke Mahkamah Agung akibat belum dilakukannya eksekusi berupa pembongkaran bangunan di atas lahan milik keluarga pelapor.

"PN Tual telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung nomor 1439.K/PDT/ 2012 tertanggal 9 April 2013 yang menyatakan lahan seluas 1,75 hektar adalah milik keluarga Hamu selaku penggugat," kata kuasa hukum keluarga Hamu, Aris Rusel di Ambon, Minggu.

Objek sengketa tersebut berada di Dobo, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Aru dan pemkab telah mendirikan bangunan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) di atas lahan itu.

Menurut Aris Rusel, pihaknya juga telah melaporkan pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru kepada Menteri Dalam Negeri karena tidak bersedia membayar ganti rugi lahan dan membongkar aset mereka di atas lahan keluarga waris yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Ada tiga keputusan pengadilan yang memperkuat kepemilikan lahan yang menjadi objek sengketa diantaranya putusan PN Tual nomor 16/PDT.G/ PN.TL tanggal 25 Februari 2011.

Kemudian putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Ambon nomor 19/Pdt/ 2011/PT.Mal tanggal 11 Oktober 2011 dan terakhir adalah putusan Mahkamah Agung.

Aris Rusel mengatakan, pada Agustus 2014 dibuatlah surat permohonan eksekusi ke PN Tual dan ada surat penetapan tanggal 5 Agustus yang dikeluarkan ketua PN agar Pemkab Aru melaksanakan amar putusan MA.

"Putusan itu antara lain membongkar seluruh harta kekayaan pemkab yang berdiri di atas tanah sengketa dan diserahkan ke keluarga Hamu dalam keadaan kosong," ujarnya.

Setelah penetapan dikeluarkan pada tanggal 14 Agustus 2014 Penjabat Bupati Kepulauan Aru, Godlief Gainau mengirim surat ke Ketua PN Tual memohon penundaan eksekusi dengan dalih untuk menyelamatkan aset pemda yang dibangun di atas tanah keluarga Hamu dan upaya melakukan penyelesaian damai dengan keluarga waris.

Kemudian keluarga Hamu menemui Ketua PN Tual, Amunuddin, yang menyatakan ada kesediaan dari Pemkab Kepulauan Aru untuk melakukan pembayaran harga tanah yang dimasukan dalam APBD kabupaten tahun anggaran 2015, sehingga keluarga waris diminta bersabar sampai bulan Mei.

Permohonan penundaan eksekusi ini dibuat lagi oleh Plt Sekda Aru yang menyatakan bahwa mereka sedang meminta pertimbangan dari Mendagri menyangkut aset pemda yang berada di atas tanah sengketa, tetapi sampai hari ini pun pertimbangan dari Mendagri belum turun.

"Mereka juga menyusun tim penafsir harga tanah, kelak nanti Pemkab sampaikan hasilnya kepada PN Tual dan keluarga besar Hamu, tetapi sampai saat ini pun tidak terealisais," ujarnya.

Ketua PN Tual yang baru, Edy Toto Purba bersama Sekretaris PN Yosep Hukubun datang ke Dobo dan memanggil keluarga Hamu selaku penggugat menyatakan eksekusi dilakukan dengan cara membobol sedikit tembok gedung pemda dan seterusnya keluarga melakukan pembongkaran.

Alasannya, Pemkab Kepulauan Aru tidak memiliki alat berat serta tempat untuk menampung limbag gedung yang dibongkar.

Sementara Djafrudin Hamu menjelaskan pada bula Mei 2015 mereka mendatangi PN Tual menanyakan janji realisasi tahun 2015 tetapi setelah itu ketua PN pindah dan masuklah pejabat baru, sedangkan Plt Bupati Kepulauan Aru, Godlief Gainau memasuki masa pensiun dan diganti Plt Anky Renjaan.

Keluarga Hamu mendatangi Plt Bupati dan menanyakannya lagi bagaimana janji gainau membayar harga tanah karena sudah dianggarkan dalam APBD 2015.

"Saya tahu persis sudah ada anggaran ganti rugi tanah di APBD karena proses pembahasannya oleh Pemkab dan DPRD Kepulauan Aru mulai berlangsung 2014 dan saat itu saya masih menjadi anggota DPRD kabupaten dan duduk di badan anggaran," katanya.

Tetapi Angky Renjaan menyatakan bahwa akan memeriksa lagi berbagai dokumen yang ada terlebih dahulu, dan lebih dari sepekan keluarga kembalai mendatangi Plt bupati namun dia menyatakan permohonan maaf karena tidak bisa melakukan pembayaran.

Alasannya dari dokumen yang ada ternyata pihak Pemkab Aru sudah melakukan pembayaran kepada Kepala Desa Durjela saat didirikan bangunan pemkab.

"Itu cara berpikir yang bebal, karena putusan PN dan MA di atas segala-galanya kemudian sudah inkrah tetapi dia kembali melihat masa lalu padahal itu sudah dibatalkan," katanya. (antara)