AMBON - Mantan Pejabat Sementara Bupati Kepulauan Aru, Angky Renjaan mengaku menolak pembayaran ganti rugi lahan milik keluarga Jafruddin Hamu karena alasan kelengkapan administrasi yang tidak jelas.
"Memang ada dana Sekretariat Daerah yang tersedia sekitar Rp10 miliar, tetapi secara administrasinya tidak jelas sehingga belum bisa dilakukan pembayaran, apalagi ada informasi mantan Bupati Tedy Tengko sudah melakukan pembaran secara adat," kata Angky di Ambon, Selasa.
Sayangnya bukti-bukti pembayaran itu tidak ditemukan sehingga Plt Sekda Aru, Arens Uniplaita menyarankan kepada Angky untuk menunda pembayaran lahan.
Keluarga Djafruddin Hamu awalnya menggugat Pemkab Kepulauan Aru ke PN Tual, Pengadilan Tinggi Ambon, dan berakhir dengan putusan Mahkamah Agung nomor 1439.K/PDT/ 2012 tertanggal 9 April 2013 yang menyatakan lahan seluas 1,75 Hektar milik penggugat dan bangunan di atasnya harus dibongkar.
Menurut Angky , waktu itu Pemkab Kepulauan Aru siap membayar, tetapi mantan Sekda Gotlief Gainauw diminta membuat surat pernyataan bahwa tanah itu belum pernah dibayar agar menjadi alasan untuk menyelesaikannya.
Namun, permintaan itu tidak pernah dipenuhi Gotlief. Padahal informasinya ada dana yang sudah dipakai membayar tanah saat Bupati Tedy Tengko dan Gotlief selaku Sekda, kemudian bisa dibuktikan bahwa tanah itu lokasinya di mana saja.
"Sekarang kalau dilakukan pembayaran kemudian terbukti di pengadilan bahwa sudah pernah dibayarkan lalu siapa yang bodoh.Saya yang akan celaka, sehingga diminta buktinya apa. Gotlief selaku mantan Sekda seharusnya membuat pernyataan," ujar Angky.
Dia mengakui sudah ada putusan MA, silahkan eksekusi tetapi keluarga Djafruddin Hamu saat itu juga mau mencari jalan damai dan ada kesepakatan, sehingga pemerintah siap membayar asalkan ada bukti administrasi bahwa tanah itu belum pernah dibayarkan.
Namun kuasa hukum keluarga Djafruddin Hamu, Aris Rusel mengatakan Pemkab Kepulauan Aru cukup menjalankan putusan Mahkamah Agung dan tidak ada urusan dengan soal pembuktian administrasi karena itu adalah masalah internal Pemkab.
Makelar Kasus Aris Rusel juga mengaku telah melaporkan mantan Ketua PN Tual, Aminuddin dan Ketua PN yang baru, Edy Toto Purba ke Mahkamah Agung karena diduga bertindak sebagai makelar kasus dalam perkara tersebut.
"PN Tual seharusnya cukup menjalankan perintah Mahkamah Agung, bukannya bernegosiasi dan menjadi perantara dengan Pemkab kepulauan Aru sehingga tidak bisa melakukan eksekusi putusan MA. Apalagi mereka sudah dibayar Rp50 juta untuk melakukan pembongkaran gedung Pemkab di atas lahan sengketa," katanya.
Pada Agustus 2014 dibuatlah surat permohonan eksekusi ke PN Tual dan ada surat penetapan tanggal 5 Agustus yang dikeluarkan Ketua PN agar Pemkab Kepulauan Aru melaksanakan amar putusan MA.
"Putusan itu antara lain membongkar seluruh harta kekayaan Pemkab yang berdiri di atas tanah sengketa dan diserahkan ke keluarga Djafruddin Hamu dalam keadaan kosong," ujarnya.
Setelah penetapan dikeluarkan pada 14 Agustus 2014 Penjabat Bupati Kepulauan Aru, GoTlief Gainau mengirim surat ke Ketua PN Tual memohon penundaan eksekusi dengan dalih untuk menyelamatkan aset pemerintah yang dibangun di atas tanah keluarga Djafruddin Hamu dan upaya melakukan penyelesaian damai dengan keluarga waris.
Kemudian keluarga Djafruddin Hamu menemui Ketua PN Tual, Amunuddin, yang menyatakan ada kesediaan dari Pemkab Kepulauan Aru untuk melakukan pembayaran harga tanah yang dimasukan dalam APBD setempat tahun anggaran 2015, sehingga keluarga waris diminta bersabar sampai Mei.
Permohonan penundaan eksekusi ini dibuat lagi oleh Plt Sekda Aru yang menyatakan bahwa mereka sedang meminta pertimbangan dari Mendagri menyangkut aset pemda yang berada di atas tanah sengketa. Namun, sampai hari ini pun pertimbangan dari Mendagri belum turun.
"Mereka juga menyusun tim penafsir harga tanah, kelak nanti Pemkab sampaikan hasilnya kepada PN Tual dan keluarga besar Hamu, tetapi sampai saat ini pun tidak terealisasi," ujarnya.
Ketua PN Tual yang baru, Edy Toto Purba bersama Sekretaris PN Yosep Hukubun datang ke Dobo dan memanggil keluarga Djafruddin Hamu selaku penggugat menyatakan eksekusi dilakukan dengan cara membobol sedikit tembok gedung pemda dan seterusnya keluarga melakukan pembongkaran.
Alasannya, Pemkab Kepulauan Aru tidak memiliki alat berat serta tempat untuk menampung limbah gedung yang dibongkar.
Sementara Djafrudin Hamu menjelaskan pada Mei 2015 mereka mendatangi PN Tual menanyakan janji realisasi tahun 2015 tetapi setelah itu ketua PN pindah dan masuklah pejabat baru, sedangkan Plt Bupati Kepulauan Aru, Gotlief Gainau memasuki masa pensiun dan diganti Plt Anky Renjaan. (antara)